Waduk Wadaslintang, merupakan objek wisata yang cukup unik. Karena
letaknya diperbatasan Kabupaten Kebumen dan Wonosobo,Jawa Tengah.
Daerahnya berudara sejuk, dengan panorama alam pegunungan di sekitarnya
yang begitu alami. Sehingga cocok sebagai tempat rekreasi bagi kawula
muda maupun keluarga.
Disebut menarik, karena sebagian genangan air masuk wilayah Wonosobo.
Sungai utama yang dibendung yakni Sungai Bedegolan. Sedangkan sekitar
113 ha, termasuk kantor dan lokasi bendung, PLTA beserta dua saluran
induk masuk ke Wilayah Kebumen.
Pada hari Minggu dan hari-hari libur, dipastikan padat oleh hadirnya
wisatawan domestik. Bagi yang berhobi berat memancing sangat cocok,
karena berkemah di alam bebas, situasinya sangat cocok.
Waduk Wadaslintang dibangun cukup lama, sekitar 7 tahun. Arealnya di
lembah yang cukup curam tapi pemandangannya mengasyikkan. Tanah yang
diperlukan untuk kawasan waduk tersebut mencapai 2.626 ha. Sehingga pada
awal pembangunannya harus memindahkan sekitar 7.000 penduduk di
perbatasan Kabupaten Kebumen-Wonosobo di eks Karesidenan Kedu. Genangan
airnya mencakup sembilan desa di sana
Waduk Wadaslintang dilaksanakan oleh kontraktor Hydro Resource
Coorporation Filipina, bekerja sama dengan PT Brantas Abipraya. Mulai
dikerjakan tahun 1982, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto awal tahun
1988.
Konstruksi beton bendungan tersebut dikagumi banyak pakar dari negara
asing, dan diproyeksikan mampu berusia sampai sekitar 200 tahun. Waduk
Wadaslintang termasuk cukup dalam. Tinggi bendungan 116 m lebar 10 m dan
panjang 650 m, berisi air maksimal 443 juta M3.
Kini, Waduk Wadaslintang benar-benar tidak saja berfungsi sebagai tempat
wisata. Tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk olah raga air, serta yang
lebih utama manfaatnya di bidang irigasi. Sebab, waduk tersebut mampu
mensuplai kebutuhan irigasi bagi areal persawahan di daerah Kebumen dan
Purworejo seluas 30.345 hektar sepanjang tahun. Dampak lansung mampu
memberikan tambahan hasil sekitar 210.000 ton beras setahun.
Sebagai catatan, dewasa ini dua daerah pertanian, Kebumen dan Purworejo,
mampu menjadi salah satu lumbung padinya Jawa Tengah. Kebumen dengan
dukungan irigasi Waduk Wadaslintang dan Sempor, mampu surplus beras 150
ribu ton per tahun. Sedangkan Purworejo mampu surplus beras 110.000 ton
per tahun. Pola tanamannyadua kali padi dan sekali palawija. Dampak dari
keberadaan wadk tersebut sepanjang tahun areal persawahan di Kebumen
dan Purworejo bagian barat airnya cukup melimpah.
Disamping itu, Waduk Wadaslintang kini menghasilkan listrik 16 MW,
sedang transmisi jaringan lebih kurang 30 km. Masalah erosi tak begitu
menjadi ancaman, lantaran sekitar waduk merupakan tanah pegunungan yang
menghijau. Belum lagi hasil ikan, karena di sana juga dimanfaatkan untuk
budidaya ikan.
Untuk menuju ke objek wisata Waduk Wadaslintang, saran angkutan cukup
mudah. Sebab, jalur Kebumen-Wonosobo lewat Wadaslintang dilayani
angkutan umum jenis minibus. Dengan jalan yang berkelok dan udara sejuk,
cukup menjadi daya pikat tersendiri.
Dari Kota Prembun di Kebumen hanya sekitar 8 km ke utara. Jalannya
beraspal hotmix dan tersedia angkutan umum. Sekitar kawasan genangan
waduk dan objek wisatanya banyak dilindungi pepohonan rindang. Karena
merupakan kawasan hutan pinus dan hutan milik perhutani, serta sebagian
tanah dan permukiman penduduk.
Pengelolaan objek wisata air itu dilakukan bergiliran. Mengingat
lokasinya di dua Kabupaten. Maka dua daerah, Kebumen dan Wonosobo
sepakat mengelola berbarengan. Setahun dikelola Wonosobo, tahun
berikutnya dikelola Diparta Kebumen, dan begitu seterusnya.
Salah satu kelebihan objek wisata Waduk Wadaslintang seperti disebut
tadi, yakni kondisi alam sekitar yang mempesona. Bahkan setelah saluran
induk ke bawah sampai Sungai Pejengkolan, mengalir air cukup bagus. Di
bagian bawah kini dibangun Bendung Pejengkolan.
Debit airnya sepanjang tahun tetap, karena bisa diatur dari pintu turbin
PLTA. Sehingga sangat cocok untuk olah raga petualang seperti arung
jeram.
Sejarah berdirinya Desa Wadaslintang
Sejarah berdirinya desa Wadaslintang tidak dapat dilepaskan dengan
Peristiwa Perang Diponegoro yang terjadi tahun 1825-1830. Wilayah
Wadaslintang ketika itu masih berupa hamparan kawasan hutan belantara.
Sekitar tahun 1827 datanglah pasukan Diponegoro yang mencari daerah
persembunyian, yang akhirnya terdamparlah pasukan Diponegoro di wilayah
Cangkring.
Kedatangan pasukan Diponegoro di Cangkring ini untuk menghindari kejaran
pasukan Belanda dari arah Kebumen ke Wonosobo. Mereka datang ke
Cangkring lewat Kalipuru, Lancar kemudian Cangkring. Ki Selarong
Magelang juga sempat tinggal beberapa lama di Cangkring. Beberapa
anggota pasukan yang tinggal di Cangkring adalah Raden Joko Kanoman dan
Raden Suryo Mataram.
Mereka ditugaskan untuk membuka hutan dan mengubahnya menjadi tempat
pemukiman, yang pada akhirnya berdirilah desa Wadaslintang. Raden Joko
Kanoman diminta untuk menjadi Dhemang, namun Joko Kanoman tidak bersedia
untuk diangkat menjadi Dhemang. Dengan alasan harus tetep maju ke medan
pertempuran bersama Raden Suryo Mataram bergabung dengan laskar-laskar
Diponegoro yang di Selomanik dan Gadingrejo.
Cadipura akhirnya diangkat sebagai Dhemang yang pertama di Wadaslintang
yang diangkat secara langsung dari Kadipaten. Cadipura bukan merupakan
penduduk asli desa Cangkring, beliau berasal dari desa Lamuk, Kaliwiro
dan masih keturunan Dari Sunan Ampel. Daerah kekuasaannya adalah wilayah
Wadaslintang, Cangkring dan Panerusan.
Pada waktu itu pusat pemerintahannya berada di desa Cangkring, namun
pada masa pemerintahan Dolah Sirod (1907-1910) yang merupakan Lurah yang
diangkat oleh Camat maka pusat pemerintahannya dipindahkan ke desa
Wadaslintang.
Pengangkatan Cadipura sebagai Dhemang adalah awal dari sebuah perjalanan
panjang bagi bumi Wadaslintang, awal dari sebuah tatanan pemerintahan
dan awal dari kumpulan sosial kemasyarakatan. Adapun nama-nama Lurah
yang pernah memerintah Wadaslintang adalah sebagai berikut:
Dhemang Cadipura, memerintah antara tahun 1829-1848
Dhemang Cadireja, memerintah antara tahun 1848-1895
Kartodirjo, memerintah antara tahun 1895-1907
Lurah Dolah Sirod, memerintah antara tahun 1907-1910
Glondong Sastro Sukarno, memerintah antara tahun 1910-1955
Kepala Desa Maryo Sudarmo, memerintah antara tahun 1955-1973
Kepala Desa Sardi Susilo Miharjo, memerintah antara tahun 1973-1975
Kepala Desa Abdulholim, memerintah antara tahun 1975-1990
Kepala Desa Joyo Dipuro, memerintah antara tahun 1990-1998
Selanjutnya setelah 1998 Desa Wadaslintang dilikuidasi diganti Kelurahan
Adanya perbedaan nama antara nama Dhemang, Glondong, Kepala Desa maupun Lurah sebenarnya mempunyai sejarah tersendiri.
Pada awalnya, sekitar tahun 1827 sedang terjadi Perang Diponegoro
datanglah pasukan Joko Kanoman di Cangkring Wadaslintang dan kemudian
dia diangkat oleh Adipati Setjonegoro di Kadipaten Wonosobo untuk
menjadi Penguasa Wilayah Wadaslintang atau yang pada waktu itu disebut
Dhemang, akan tetapi Raden Joko Kanoman tidak mau sehingga Kanjeng
Adipati mengangkat Cadipura sebagai Dhemang pertama di Wadaslintang.
Setelah usai perang Diponegoro Para laskar-laskar terus melakukan
perjuangan untuk mempertahankan bumi pertiwi. Dengan perlawanan terhadap
kaum penjajah dengan bergerilya. Mendirikan perkampungan dan untuk
memperbanyak pasukan dan kekuatan serta mengsejahterakan warganya.
Kyai Cadipura memperluas daerah kekuasaan dan membangun kekuatan dari beberapa laskar yang datang ke wilayah tersebut.
Diantara mereka yang datang adalah Kyai Sayid Muhammad salah satu laskar
Diponegoro dari Jepara yang lari ke Selomanik dan sempat adu tanding
ilmu kesaktian dengan saudara seperguruan beliau Kyai Sayid Umar (kyai
Giyombong) di kawasan Kaliwiro sebagai pembuktian kalau masih satu guru
dan lama tidak ketemu.
Oleh Kyai Cadipura Kyai Sayid Muhammad diperintahkan untuk membuka hutan
di timur wadaslintang.. dan tempat baru tersebut di namakan Kemutug
karena waktu babat alas Kyai Muhammad selalu di kutug oleh harimau
penunggu hutan tersebut. Dan para hewan tersebut bisa dikalahkan.
Sejak saat itu Kyai Muhammad Disebut dengan Kyai Kemutug sementara
saudara seperguruan beliau disebut dengan Kyai Giyombong karena
sebelumnya beliau tinggal di Desa Giyombong Bruno.
Hingga saat ini sejarah masa lalu masih banyak yang tersimpan dan
tersembunyi. Sehingga di masyarakat banyak terjadi pro kontra tentang
sesepuhnya sendiri.
Yang perlu dicatat adalah dimasa lalu para sepuh menggunakan nama yang berbeda di setiap daerah perjuangan Beliau.
0 Komentar untuk "Sejarah Wadaslintang "